We Can Do The Great Thing For God, when We Do A Little Things For Others

When We Love God, We Will Serve People

Senin, 29 Agustus 2011

Lulus Kuliah, Aku tidak Boleh menjadi Pengangguran

Setelah aku lulus kuliah, aku ingin bekerja sesuai dengan bidang yang telah aku geluti selama 5 tahun belakangan ini. aku mahasiswa fakultas ilmu keperawatan,tentunya aku menjadi perawat setalah aku lulus.
Semasa kuliah aku optimis dan tidak skeptic akan bidang yang akan kujalani. Aku tahu sejak dari semester perkuliah kalau Tuhan punya rencana besar dalam hidupku menempatkan aku di FIK UI. Tidak kebetulan aku berada dikampus ini, jadi aku harus memberikan yang terbaik.
Usahaku tidak sia-sia. Berkat anugarah Tuhan, doa, kerja keras,  usaha, bimbingan dan dukungan aku dapat lulus S1 dan mendapat gelas S.Kep. dan Ners dengan predikat Cum laude. Hasil yang sangat membanggakan bagi diriku dan keluargaku.
Setelah aku lulus, aku kira aku akan menghadapi masa-masa yang menyenangkan. Kenyataannya itu memang benar, aku merasa bebas, plong dan sangat lega. Lega sekali. Selesai sudah tugasku. Tidak ada lagi tugas kuliah, tidak ada lagi kerja kelompok, tidak ada lagi diskusi, praktikum, tidak ada lagi kunjungan rumah sakit, panti jompo, komunitas, tidak ada lagi ujian. Ujian yang menjadi momok yang sanat menakutkan. Aku seperti terlahir kembali dengan penuh kemerdakaan. Tapi ternyata aku salah. Salah dalam memaknai semua itu. Apakah tujuan hidupku hanya sebatas lulus kuliah? O… tidak bisa!! Aku tiak bisa seperti itu, aku masih mempunyai mimpi. Mimpi untuk membawa bangsa ini kearah perubahan yang lebih baik, khusunya dalam bidang kesehatan. Itu harus kucapai… tentunya untuk mencapai itu harus dengan usaha dan kerja keras lagi, mulai dari bawah.
Tantangan baru datang. Dunia kerja sebagai tempat untuk aku dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperjuangakan. Aku tidak mau ilmu itu menguap begitu saja tanpa menyiram dan memberi kesegaran bagi mereka yang membutuhkannya. Tentunya harus aku gunakan untuk kepentingan orang banyak. Sangat idealis bukan…?? Walaupun tidak dapat dipungkiri, aku juga butuh dana untuk membiayai hidupku. Tapi uang bukan tujuan akhir, uang hanya bonus dari pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati dengan tetap berfokus kepada Sumber Hidup ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah dimana aku akan bekerja? Awalnya aku sangat bingung. Aku mengajukan lamaran  di berbagai rumah sakit, baik rumah sakit swasta maupun negeri, bahkan di perusahaan. Aku diwawancara di berbagai rumah sakit, bahkan aku sempat bekerja di klinik perusahaan yang terkenal. Tetapi jujur, aku tidak nyaman, bukan karena masih dalam proses adaptasi, tetapi memang aku yakin ilmuku yang rumit itu tidak dapat diaplikasikan di sebuah klinik.
Aku mencari dan terus mencari. Ditengah-tengah kebingunanku, aku kembali menemukan kepastian kalau Tuhan pasti memberi yang terbaik. Tidak lama waktu berselang, handphone-ku bordering. Nomor baru. Tanpa piker panjang aku angkat saja, entah siapapun itu aku tidak perduli. Yang pasti pasti ada sesuatu, sehingga orang ini menghubungi aku. “Halo..” jawabku, “Hallo.. selamat siang.. benar ini dengan Leo Ginting? Ya saya sendiri…  Apakah Leo mengirimkan surat lamaran sebagai perawat di rumah sakit Siloam? Ya.. baiklah, kalau begitu Anda boleh datang ke rumah sakit Siloam untuk melakukan wawancara… Terima kasih...”
Jantungku berdegup kencang. Aku bahagia, ditengah-tengah kecemasan dan pertanyaan persiapan apa yang harus aku lakukan untuk wawancara itu? Puji Tuhan, ternyta orang yang aku sayangi sejak dari masa kuliah dulu, juga dipanggil untuk wawancara di rumah sakit yang sama dan di waktu yang sama.
Kamipun segera mencari semua informasi tentang rumah sakit itu, kami pahami visi-misinya, prestasinya dan semua yang perlu untuk diketahui, kami cari semampu kami.
Hari itupun tiba, aku dan dia menjalani beberapa test dan diwawancara dengan beberapa teman lainnya. Tapi keanehan dan kejanggalanpun mulai terjadi. Aku dan dia, hanya menjalani 1 sesi wawancara pada hari itu. Kata pewawancara kami, hal itu disebabkan karena bagian keperawatan yang seharusnya mewawancarai kami sedang cuti dan kami dipersilahkan untuk pulang. Kamipun berpikir positif, dan tetap mengharapkan sekali kalau kami dipanggil wawancara untuk yang kedua kalinya. Waktu terus berjalan, panggilan itu tidak kunjung datang juga. Kami terus menggunakan rasional kami dan berharap akan segera ada panggilan lagi. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam dan bahkan beberapa minggu kemudian, ada surat datang kepada kami berdua di kos-kosan kami masing-masing. Surat itu berlogokan dan beralamatkan RS Siloam. Rasanya campur aduk, tidak tahu apa yang dirasakan. Senang berada ditengah-tengah kecemasan. Penasaran ingin segera tahu apa isi dari amplop putih bergaris hijau itu
Aku dan Dia sama-sama membuka bungkusan kertas itu di tempat kami masing-masing. Aku sendiri membukanya dengan tergesa-gesa, tidak sanggup lagi membendung rasa penasaran yang sudah bergejolak dalam hatiku. Aku robek amplopnya dan aku keluarkan isinya. Aku baca perlahan-lahan… kata demi kata aku cerna baik-baik. Harapan itu masih ada. Aku masih berharap di surat itu ada tertulis: “Selamat anda kami terima bergabung di RS Siloam…” atau paling tidak “Anda kami harapkan datang kembali untuk wawancara selanjutnya…”, tetapi kalimat seperti itu tidak juga aku baca. Sampailah mataku dibagian tengah dari isi surat itu, dicetak tebal. Jantungku semakin berdegub kencang, aku penasaran.  Aku baca sekalai lagi kalimat itu. Aku tidak percaya.  Aku segera menelefon pacarku, aku penasaran, apakah isi surat yang ia terima. Aku ingin tahu. Ternyata, ada kabar bahagia. Selain mendaoat surat yang sama, kami juga mendapat isi yang sama persis. Paling tidak perjuangan  kami masih sama. Isi surat itu menyatakan kalau kami masih punya kesempatan untuk mencari rumah sakit lain untuk mengabdikan diri yang jauh lebih baik dari rumah sakit Siloam, alias kami tidak diterima.
Huaaaaaaaaaaa…. Hatiku kecewa sekali. Sangat kecewa. Yang kami sesalkan adalah dari rumah sakit itu tidak menyampaikan alasan mengapa kami tidak diterima disana. Kalau disertakan alasan yang jelas, kami masih bisa memperbaiki diri.  Banyak pertanyaan dan praduga yang muncul; apakah pada saat test academic, hasil test kami jelek atau karena TB kami yang dibawah rata-rata? Jika itu benar, saya semakin kecewa dan minder dalam menjalani hidup ini. Tapi ya sudahlah, mungkin rumah sakit itu memang bukan rumah sakit yang tepat buat kami bekerja.
Apapun yang kita rasakan dan alami dalam hidup ini, entah bahagia atau dalam kondisi yang tidak menyengkan, itu semua hanya sementara, waktu terus berjalan dan kondisi hidup ini akan terus berputar. Itu sama artinya dengan kondisi yang aku alami baru-baru ini, sungguh tidak menyenangkan, tapi rasa itu berganti sudah, ketika aku diterima di RS Fatmawati. Setelah melalui berbagai test dan wawancara saya diterima untuk mengabdikan diri bagi nusa dan bangsa. Aku merasa sangat senang karena sekarang statusku telah berubah dari seorang jobseeker (pengangguran) menjadi karyawan (perawat). Semangat ini membara, jiwa untuk berkontribusi bagi masyarakat berkobar, rasanya tidak sabar untuk bisa mengamalkan ilmu yang dengan susah payah telah dipelajari. Aku berkata dalam hati: “Ini dia saatnya aku tunjukkan bahwa aku adalah seorang Perawat on going Perawat Profesional, kenapa masih dalam tahap on going? Ya, aku baru lulus, dan masih banyak hal yang harus dipelajari. Aku harap seiring dengan berjalannya waktu, pengalamanku akan terus bertambah dan dalam tahap proses itulah, aku akan menjadi perawat yang professional.

Autobiografi


5 Mei 1985, tepatnya hari Minggu matahari bersinar indah dan cerah, udara yang segar dan suasana pagi yang ceria. Sama seperti hari-hari sebelumnya, yang selalu dianugrahkan Tuhan kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Tetapi khusus pada hari itu, merupakan hari yang bahagia dan akan diperingati setiap tahunnya sebagai hari yang bersejarah dalam lengkapnya hidup sebuah keluarga yang saling mencintai. Anak ke-6 lahir dalam keluarga yang sederhana di sebuah desa budaya yang sejuk. Seorang anak laki-laki dan cukup sehat.
Anak itu diberi nama  Leo dengan nama keluarga Ginting dan setelah dibabtis diberi nama tambahan sehingga nama tersebut identik dengan seorang anak yang terlahir dalam keluarga Katolik Roma dan nama anak tersebut  menjadi Leosius Ginting, dan itu adalah Aku.
Aku tidak ingat persis bagaimana masa-masa kecilku sehingga aku dibesarkan. Tetapi yang ku ingat, aku akan ceritrakan disini. Aku terlahir sebagai anak bungsu. Pada saat aku berumur sekitar 5-6  tahun, semua kakak aku, sudah bersekolah, ada yang SD, SMP dan SMU, tinggal aku sendiri yang belum sekolah. Melihat mereka, aku ingin sekali cepat-cepat masuk sekolah. Buku-buku mereka sering sekali ku otak-atik. Aku belajar, bagaimana bentuk huruf-huruf.  Tidak jarang, aku berantam dengan kakak-kakakku karena ulahku yang sering “meminjam” buku mereka, aku bermaksud untuk membantu mereka mengerjakan tugas mereka. Akhirnya, aku dimarahi sama orangtuaku dan dilarang untuk ikut campur dalam urusan buku.
Tapi aku tidak menyerah, keinginan yang begitu kuat dan rasa penasaran yang menggebu, sering sekali mengajak aku untuk berbuat nekat. Tetap saja aku dengan cara diam-diam membuka buku-buku mereka. Aku ingin sekali menjadi anak yang pintar. Aku buka buku bacaan, aku meniru bagaimana cara menulis, meniru seperti yang ditulis dalam buku. Aku menghabiskan begitu banyak buku untuk dicorat-coret. Alhasil, aku kena marah lagi. Aku sedih banget, sedih karena tidak difasilitasi dengan baik terhadap keinginaku untuk belajar. Aku mencari cara lain untuk dapat belajar. Aku dilarang untuk menulis dibuku, mungkin aku lebih baik kalau aku menulis di tempat lain, pikirku. Pada saat aku sendirian dirumah, aku ingin memberikan kejutan kepada keluargargaku, aku ingin membuat mereka bangga, bangga karena memiliku aku, seorang anak yang pintar. Aku pun mengekspresikan kepintaranku dalam bentuk tulisan. Aku pun menulis di dinding rumah kami, tidak hanya dinding, jendela dan pintu juga tidak terlepas dari tangan pintarku. Aku senang sekali, rasanya bebas tanpa merasa takut dimarahi lagi. Justru aku berharap kalau aku mendapat pujian dari keluargaku, terutama orang tuaku. Hal itu dikarenakan karena aku sudah menulis dengan sangat baik. Itulah perkiraanku.
Tibalah saat yang kunantikan. Aku mendengar suara kedatangan keluargaku dari kejauhan. Aku membayangkan ekspresi kebanggan memancar dari wajah ayah ibuku, ketika melihat mega karyaku yang pertama. ;)
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, sesaat setelah mereka melihat tulisanku, aku langsung dibentak, dimarahi (lagi) dan disuruh membersihkan tulisanku yang telah dengan susah payah telah kubuat. Dengan berurai air mata, aku menghapus tulisanku itu. Tapi aku tidak membenci orang tuaku, aku menghargai sikap mereka. Mungkin cara mereka saja yang kurang tepat memperlakukan aku seperti itu.
Waktu terus berjalan, dengan berbagai cara saya tetap berusaha untuk belajar.

Yang aku tahu, aku berasal dari keluarga kebanggaanku, yang rukun harmonis. Ayah dan ibuku, 3 orang kakak perempuanku dan 2 orang kakak laki-lakiku sangat menyayangi diriku, aku tahu itu dan aku juga sangat sayang kepada mereka.
Lebih dari seperempat abad aku telah menjalani hidup ini. Banyak sekali yang telah aku lalui; suka dan duka; senang dan sedih; jatuh dan bangun; sakit dan sehat; hampir putus asa dan semangat yang membara; semuanya telah dan terus akan aku lalui. Aku bahagia dengan itu semua, aku senang, walaupun pada saat menghadapi masa-masa sulit dalam hidup tidak jarang aku seperti laki-laki bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Hhhmmm.. tapi semangat ku hidup kembali, ketika aku mengingat Tuhanku, yang telah mengatur segala jalan hidupku.

Syukurilah Hidupmu

Banyak orang mengeluh akan kisah hidupnya. “Aku ingin seperti itu, bukan seperti ini..”
Banyak manusia yang merasa tidak puas, akan hal-hal yang telah ia capai.  Sangat menyedihkan bukan??  Banyak manusia yang mensyukuri anugrah Tuhan dalam hidupnya. Pada hal kalau dipikir-pikir, masih banyak orang diluar sana, yang tidak sebaik atau seberuntung dirinya saat ini.
Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. Tuhan tahu apa yang terbaik bagi setiap anakNya, bahkan dalam ketidaknyamanan kita, Tuhan pun mampu menggunakan moment itu untuk mendatangkan kemuliaan bagi namaNya.
Aku juga masih sering menimbang-nimbang dalam pikiran dan hati, kemana aku akan melangkah kedepannya, kemana aku akan bekerja? Aku ingin menjadi PNS, tetapi PNS dimana? PNS ditempat aku bisa merasa nyaman. Aku pikir itu di daerah kelahiranku, Tanah Karo, atau di Medan.
Aku ingin menjadi PNS di daerah itu, aku ingin memberikan yang terbaik bagi tempat kelahiranku, aku ingin memingkatkan status kesehatan masyarakat di daerahku. Aku harus menjadi orang yang bisa mengambil keputusan. Keputusan untuk mengambil kebijakan demi kepentingan orang banyak. Tuhan bantu aku, Tuhan tolong aku. Tuhan luruskan motivasiku. Tuhan bukakan jalan bagiku.
Amsal 16:9 berkata “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya”.
Berdasarkan ayat ini, aku sangat yakin, jika Tuhan berkenan, Tuhan pasti bantu aku. Tinggal aku yang harus mempersiapkan diri, menjadi peka dalam segala situasi. Amsal 16:3 berkata “Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu.” Amin…
Aku ingin mengutip perikop alkitab Amsal 16:1-9
Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada Tuhan. Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu. Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka. Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni, karena takut akan Tuhan orang menjauhi kejahatan. Jikalau Tuhan berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun didamaikanNya dengan dia. Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan. Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.”
Amin. Terjadilah kehendakMu ya Tuhanku… J