We Can Do The Great Thing For God, when We Do A Little Things For Others

When We Love God, We Will Serve People

Senin, 29 Agustus 2011

Autobiografi


5 Mei 1985, tepatnya hari Minggu matahari bersinar indah dan cerah, udara yang segar dan suasana pagi yang ceria. Sama seperti hari-hari sebelumnya, yang selalu dianugrahkan Tuhan kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Tetapi khusus pada hari itu, merupakan hari yang bahagia dan akan diperingati setiap tahunnya sebagai hari yang bersejarah dalam lengkapnya hidup sebuah keluarga yang saling mencintai. Anak ke-6 lahir dalam keluarga yang sederhana di sebuah desa budaya yang sejuk. Seorang anak laki-laki dan cukup sehat.
Anak itu diberi nama  Leo dengan nama keluarga Ginting dan setelah dibabtis diberi nama tambahan sehingga nama tersebut identik dengan seorang anak yang terlahir dalam keluarga Katolik Roma dan nama anak tersebut  menjadi Leosius Ginting, dan itu adalah Aku.
Aku tidak ingat persis bagaimana masa-masa kecilku sehingga aku dibesarkan. Tetapi yang ku ingat, aku akan ceritrakan disini. Aku terlahir sebagai anak bungsu. Pada saat aku berumur sekitar 5-6  tahun, semua kakak aku, sudah bersekolah, ada yang SD, SMP dan SMU, tinggal aku sendiri yang belum sekolah. Melihat mereka, aku ingin sekali cepat-cepat masuk sekolah. Buku-buku mereka sering sekali ku otak-atik. Aku belajar, bagaimana bentuk huruf-huruf.  Tidak jarang, aku berantam dengan kakak-kakakku karena ulahku yang sering “meminjam” buku mereka, aku bermaksud untuk membantu mereka mengerjakan tugas mereka. Akhirnya, aku dimarahi sama orangtuaku dan dilarang untuk ikut campur dalam urusan buku.
Tapi aku tidak menyerah, keinginan yang begitu kuat dan rasa penasaran yang menggebu, sering sekali mengajak aku untuk berbuat nekat. Tetap saja aku dengan cara diam-diam membuka buku-buku mereka. Aku ingin sekali menjadi anak yang pintar. Aku buka buku bacaan, aku meniru bagaimana cara menulis, meniru seperti yang ditulis dalam buku. Aku menghabiskan begitu banyak buku untuk dicorat-coret. Alhasil, aku kena marah lagi. Aku sedih banget, sedih karena tidak difasilitasi dengan baik terhadap keinginaku untuk belajar. Aku mencari cara lain untuk dapat belajar. Aku dilarang untuk menulis dibuku, mungkin aku lebih baik kalau aku menulis di tempat lain, pikirku. Pada saat aku sendirian dirumah, aku ingin memberikan kejutan kepada keluargargaku, aku ingin membuat mereka bangga, bangga karena memiliku aku, seorang anak yang pintar. Aku pun mengekspresikan kepintaranku dalam bentuk tulisan. Aku pun menulis di dinding rumah kami, tidak hanya dinding, jendela dan pintu juga tidak terlepas dari tangan pintarku. Aku senang sekali, rasanya bebas tanpa merasa takut dimarahi lagi. Justru aku berharap kalau aku mendapat pujian dari keluargaku, terutama orang tuaku. Hal itu dikarenakan karena aku sudah menulis dengan sangat baik. Itulah perkiraanku.
Tibalah saat yang kunantikan. Aku mendengar suara kedatangan keluargaku dari kejauhan. Aku membayangkan ekspresi kebanggan memancar dari wajah ayah ibuku, ketika melihat mega karyaku yang pertama. ;)
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, sesaat setelah mereka melihat tulisanku, aku langsung dibentak, dimarahi (lagi) dan disuruh membersihkan tulisanku yang telah dengan susah payah telah kubuat. Dengan berurai air mata, aku menghapus tulisanku itu. Tapi aku tidak membenci orang tuaku, aku menghargai sikap mereka. Mungkin cara mereka saja yang kurang tepat memperlakukan aku seperti itu.
Waktu terus berjalan, dengan berbagai cara saya tetap berusaha untuk belajar.

Yang aku tahu, aku berasal dari keluarga kebanggaanku, yang rukun harmonis. Ayah dan ibuku, 3 orang kakak perempuanku dan 2 orang kakak laki-lakiku sangat menyayangi diriku, aku tahu itu dan aku juga sangat sayang kepada mereka.
Lebih dari seperempat abad aku telah menjalani hidup ini. Banyak sekali yang telah aku lalui; suka dan duka; senang dan sedih; jatuh dan bangun; sakit dan sehat; hampir putus asa dan semangat yang membara; semuanya telah dan terus akan aku lalui. Aku bahagia dengan itu semua, aku senang, walaupun pada saat menghadapi masa-masa sulit dalam hidup tidak jarang aku seperti laki-laki bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Hhhmmm.. tapi semangat ku hidup kembali, ketika aku mengingat Tuhanku, yang telah mengatur segala jalan hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar