Aku tidak ingat persis bagaimana masa-masa kecilku sehingga
aku dibesarkan. Tetapi yang ku ingat, aku akan ceritrakan disini. Aku terlahir
sebagai anak bungsu. Pada saat aku berumur sekitar 5-6 tahun, semua kakak aku, sudah bersekolah, ada
yang SD, SMP dan SMU, tinggal aku sendiri yang belum sekolah. Melihat mereka,
aku ingin sekali cepat-cepat masuk sekolah. Buku-buku mereka sering sekali ku
otak-atik. Aku belajar, bagaimana bentuk huruf-huruf. Tidak jarang, aku berantam dengan
kakak-kakakku karena ulahku yang sering “meminjam” buku mereka, aku bermaksud
untuk membantu mereka mengerjakan tugas mereka. Akhirnya, aku dimarahi oleh
kakak dan orangtuaku dan dilarang untuk ikut campur dalam urusan buku.
Tapi aku tidak menyerah, keinginan yang begitu kuat dan rasa
penasaran yang menggebu, sering sekali mengajak aku untuk berbuat nekat. Tetap
saja aku dengan cara diam-diam membuka buku-buku mereka. Aku ingin sekali menjadi
anak yang pintar. Aku buka buku bacaan, aku meniru bagaimana cara menulis,
meniru bentuk huruf-huruf dan apa saja seperti yang ada dalam buku. Aku
menggunakan begitu banyak buku untuk dicorat-coret. Alhasil, aku kena marah
lagi. Aku sedih banget, sedih karena tidak difasilitasi dengan baik terhadap
keinginanku untuk belajar. Aku mencari cara lain untuk dapat belajar. Aku
dilarang untuk menulis dibuku, mungkin aku lebih baik kalau aku menulis di
tempat lain, pikirku. Pada saat aku sendirian dirumah, aku ingin memberikan
kejutan kepada keluargargaku, aku ingin membuat mereka bangga, bangga karena
memiliku aku, seorang anak yang pintar. Aku pun mengekspresikan kepintaranku
dalam bentuk tulisan. Aku pun menulis di dinding rumah kami, tidak hanya
dinding, jendela dan pintu juga tidak terlepas dari tangan pintarku. Aku senang
sekali, rasanya bebas tanpa merasa takut dimarahi lagi. Justru aku berharap
kalau aku mendapat pujian dari keluargaku, terutama orang tuaku. Hal itu
dikarenakan karena aku sudah menulis dengan sangat baik. Itulah perkiraanku.
Tibalah saat yang kunantikan. Aku mendengar suara kedatangan
keluargaku dari kejauhan. Aku membayangkan ekspresi kebanggan memancar dari
wajah ayah ibuku, ketika melihat mega karyaku yang pertama. ;)
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, sesaat setelah mereka
melihat tulisanku, aku langsung dibentak, dimarahi (lagi) dan disuruh
membersihkan tulisanku yang telah dengan susah payah aku buat. Dengan berurai
air mata, aku menghapus tulisanku itu. Tapi aku tidak membenci orang tuaku, aku
menghargai sikap mereka. Mungkin cara mereka saja yang kurang tepat
memperlakukan aku seperti itu.
Waktu terus berjalan, dengan berbagai cara aku tetap berusaha
untuk belajar, karena aku ingin sekali
menjadi anak pintar. Aku ingin segera sekolah karena aku adalah anak yang punya
cita-cita.
Waktu yang aku nantikanpun datang, aku sudah berumur 7 tahun
lebih, saatnya aku didaftarkan oleh orang tuaku untuk masuk sekolah dasar. Aku
senang sekali berharap aku bisa sekolah di tahun ini. Hari itu aku bangun lebih
cepat dari biasanya, aku pun didaftarkan oleh Bapak saya. Tapi aku tidak
diterima, karena badanku kecil. Jauh lebih kecil dari teman-teman seumuranku.
Sementara bangku sekolah yang tersedia di daerahku sangat terbatas. Sehingga
dengan terpaksa pihak sekolah harus menolak aku pada saat itu, walaupun dari
segi umur, aku selayaknya sudah dapat masuk sekolah.
Tapi tidak apalah, masih ada tahun depan yang setia menanti.
Kepasrahanku ternyata belum mampu membuatku nyaman seutuhnya. Setiap kali aku
melihat teman-teman seumuranku mengenakan seragam sekolah, keinginanku kembali
menyiksa aku. Aku iri pada mereka, aku iri mereka dapat sekolah. Rasa itu
kerapkali menghinggapiku, manakala pemandangan yang sama menjamu mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar