Tahun berikutnya pun datang, badan bertambah besar. Aku
yakin, aku bisa sekolah di tahun ini. Secara informal, keluargaku sudah
berkomunikasi dengan pihak sekolah, yang kebetulan adalah kerabat dari
orangtuaku. Dengan pertumbuhan fisik dan umur yang sudah melebihi usia anak
kelas 1 SD, aku dan keluargakupun yakin, bahwa aku bisa masuk sekolah tahun
ini.
Berbagai persiapanpun dimulai; seragam sekolah; tas; buku;
sepatu dan berbagai keperluan detail lainnya. 1 hari sebelum aku masuk sekolah,
kemalanganpun datang, bapakku, abangku dan aku sendiri mengalami kecelakaan.
Motor yang dikendari oleh bapakku itu beradu kepala dengan sebuah mobil yang
melaju kencang dari arah yang berlawanan. Bapakku tidak sadarkan diri sampai
beberapa saat, namun setelah sampai di rumah sakit, bapak ternyata hanya syok
dan mengalami luka ringan saja di daerah kepalanya. Abangku, mengalami patah
tulang dan harus menjalani fisio terapi selama lebih kurang 2 bulan. Aku…
mengalami luka yang paling parah. Tubuh disebelah kananku, banyak mengalami
luka. Aku mengalami cedera kepala terbuka yang cukup parah. Tengkorak
dikepalaku bahkan sampai terlihat. Pundakku juga luka dan lutut kananku
mengalami dislokasi yang sangat parah.
Pada saat kejadian aku masih sadarkan diri. Aku tergeletak
dipinggir jalan raya. Aku hanya bisa menangis menahan rasa sakit. Darah mengalir, keluar dari kepalaku.. Aku
tidak ingat persis bagaimana kronologis kejadian itu. Kami segera ditolong oleh
warga sekitar tempat kami mengalami kecelakaan. Kami dibawa kerumah sakit terdekat.
Aku tidak melihat satupun anggota keluargaku. Aku ingin sekali bisa melihat
mereka sesegera mungkin.
Bapak dan abangku masih dapat ditangani untuk sementara di
rumah sakit umum itu, tetapi aku mengalami perdarahan hebat. Aku masih ingat
ketika petugas rumah sakit membersihkan luka dikepalaku. Aku sangat kesakitan.
Banyak pasir dan kotoran yang masuk keluka dikepalaku. Aku merasakan bagaimana
kotoran-kotoran itu dikeluarkan sedikit demi sedikit. Pasir atau kerikil atau
apa lah itu, rasanya menari-nari menginjak lukaku. Rasanya sakit sekali. Setelah aku mendapatkan pertolongan pertama, aku
harus segera dirujuk kerumah sakit yang lebih besar dan peralatannya lebih
memadai. Lukaku dibebat seadanya dan aku segera dirujuk kerumah sakit umum
kabupaten di darehku, yaitu rumah sakit umum Kabanjahe. Segera aku dibawa ke
urang UGD (Unit Gawat Darurat) untuk dilakukan pertolongan terhadapku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ditolong. Berbagai
pemeriksaan fisik dilakukan terhadap diriku. Dilakukan rongent kepala, dada dan
kakiku, serta pemeriksaan lainnya.
Aku ketakutan. Rasa sakit yang aku alami menghantarkanku
kepada suatu ketakutan yang luar biasa, yaitu kematian. Aku sangat kematian.
Aku tidak mau berpisah dengan ibuku, aku tidak mau jauh dari bapaku, aku tidak
mau kehilangan harapan-harapanku. Ditengah-tengah aku sedang ditolong, aku
masih sempat melihat bayangan ibuku menatap aku, sambil menangis. Pada saat itu
aku benar-benar merasakan bahwa ibuku sangat menyayangi aku. Aku juga bisa
merasakan kalau ibuku juga takut melihat peristiwa mengerikan itu. Rasa takutku
semakin menjadi-jadi. Aku semakin takut. Aku belum siap untuk mati.
Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menikmati masa depanku
yang penuh harapan. Tibalah aku diruang perawatan. Ibuku langsung memelukku,
sambil menangis. Mengelus-elus wajahku, mencium aku, menatapku sambil
menguraikan air mata. Aku pun ikut menangis, aku berkata: “Ma, aku takut. Aku
takut mati, jangan tinggalkan aku”. Ibuku, menenangkan aku dan memberiku
keyakinan bahwa aku aku tidak akan mati, dan akan sehat kembali.
Hari berganti hari, aku merasakan kepalaku semakin sakit. Aku
sangat tersiksa dengan keadaanku. Luka dikepalaku terasa sangat sakit,
nyut-nyutan seperti ditusuk- tusuk duri. Ternyata luka itu mengalami infeksi, bahkan
sampai mengeluarkan pus/nanah. Keadan itu, membuat kelurgaku untuk berfikir dan
mengambil keputusan kalau aku akan pindah kerumah sakit swasta. Aku dipindahkan
kerumah sakit Flora di kota yang sama.
Dirumah sakit ini, aku dioprasi kembali. Lukaku dibersihkan, sehingga
aku merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Dirumah sakit ini pula kakiku yang
mengalami dislokasi, dipulihkan. Prosesnya melakukan perawatan kolaboratif
antara rumah sakit dan pengobatan tradisonal.
Pada hari dimana direncanakan untuk merelokasi kakiku, aku
dibuat merasa sangat nyaman. Aku tidur pulas sekali. Tapi entah kenapa,
tiba-tiba aku merasakan ada yang menahan tanganku, badanku dan seluruh
tubuhkau. Aku tidak bisa bergerak. Belum sempat menyadari apa yang sebenarnya
terjadi, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat luar biasa. Aku terbangun,
dan aku melihat bebera orang menahan tubuhku, agar aku tidak bisa berontak saat
dilakukan apa yang mereka telah rencanakan. Kakaiku di tarik ke posisi semula
tanpa ada inform consent/surat persetujuan dari aku. Aku menangis keras sekali. Meraung-raung
menahan sakit. Aku bisa mendengar bunyi yang dihasilkan oleh tulang yang saling
bergesekan dilutuku. Sakit sekali. Setelah itu, berangsur-angsur luka di kepala
dan lututku mengalami perbaikan.
Aku bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk menjalani
hidupku, walaupun harapanku lagi-lagi harus tertunda, yaitu untuk bersekolah. Aku menjalani rawat inap sekitar 1,5 bulan. Setiap
teman-temanku yang datang menjenguk aku di RS, yang rencananya di tahun ini
kami sekolah bareng, ada perasaan cemburu dan ingin seperti mereka. Tapi rasa
itu segera kutepis, karena aku yakin, tahun ini belum tepat untuk aku masuk
sekolah. Belum lagi, aku harus rutin kontrol ke rumah sakit, untuk meyakinkan
kalau aku dalam kondisi baik.
Sementara abangku, masih bisa melanjutkan sekolahnya tanpa
harus tertinggal karena menunggu 1 tahun lagi, saat itu abangku sudah duduk di
kelas 4 SD. Aku turut senang, mendengar berita itu. Kebahagiaan abangku adalah
kebahagianku juga.
Setelah aku dibolehkan pulang untuk rawat jalan, keluarga
besarku mengadakan pesta syukuran. Semua keluarga, sahabat dan warga kampung
diundang untuk ikut merayakan kebahagian atas berkat Tuhan yang luar biasa buat
keluarga kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar