BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan usia harapan hidup masyarakat Indonesia semakin lama semakin meningkat. Jika tahun 1980 Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat Indonesia adalah 52,2 tahun dan pada tahun 2006 UHH meningkat menjadi 66, 2 tahun. Peningkatan UHH terjadi lagi pada tahun 2010 menjadi 67, 4 tahun. Sepuluh tahun kemudian, perkiraan UHH penduduk Indonesia sekitar 71, 1 tahun (www.menkokesra.go.id). Hal ini memberikan arti bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia juga meningkat.
Peningkatan penduduk lansia dan UHH masyarakat Indonesia akan membawa dampak pada perubahan pola penyakit di Indoesia. Salah satu penyakit yang meningkat presetasenya seiring dengan peningkatan UHH adalah penyakit degeneratif. Salah satu penyakit degeneratif tersebut dapat menimbulkan gangguan pada saluran kencing.
Gangguan saluran kencing bisa dialami semua orang. Terlebih pada laki-laki paruh baya gangguan seperti sering bolak-balik ke kamar kecil, merasa kencing tidak tuntas, dan harus menunggu ketika akan berkemih semakin sering terjadi. Gejala urinarius seperti tersebut diatas dapat ditimbul akibat masalah pada prostate. Secara normal, prostat berkembang sesuai dengan pertambahan usia. Dimulai dari ketika ukuran kecil ketika masih anak-anak terus bertumbuh mencapai 20 gram pada usia 30 tahun. Ukuran prostat akan menetap sampai usia +/- 50 tahun. Pada usia 80 tahun, prostat akan berkembang lagi mencapai berat 35 gram.
Salah satu gangguan prostat yang sering terjadi ialah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat ini merupakan proses alamiah yang terjadi pada laki-laki sesuai pertambahan usia akibat bertambahnya sel kelenjar prostat. Berdasarkan penelitian, jika berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinan akan mengalami pembesaran prostat adalah 50% dan ketika berusia 80-85 tahun, risiko menderita BPH akan meningkat menjadi 90%.
Penyebab membesarnya prostat ini sampai sekarang belum diketahui pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa proses ini erat kaitannya dengan kadar hormonal dan proses penuaan (aging process). Gangguan hormonal yang dimaksud yaitu dengan bertambah tuanya seorang pria, maka kadar hormon seks pria (androgen) seperti testosteron berkurang, sedangkan hormon seks wanita berupa estrogen yang dalam keadaan normal didapati dalam jumlah sangat sedikit pada pria menjadi meningkat. Hal tersebut yang diduga menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel prostat/ hyperplasia prostate.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya hyperplasia dari prostat pada usia lanjut berkorelasi dengan pertambahan umur. Perbesaran ini bersifat lunak dan tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial ataupun komplit pada saluran kencing yang menimbulkan berbagai gejala.
Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gejala obstruktif (pembuntuan) dan gejala iritatif (iritasi). Gejala obstruktif meliputi hesitancy (menunggu untuk memulai kencing), pancaran kencing lemah, pancaran kencing terputus-putus, tidak puas saat selesai berkemih, rasa ingin kencing lagi sesudah kencing dan keluarnya sisa kencing atau tetesan urine pada akhir berkemih. Sementara gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal (terlalu sering), terbangun di tengah malam karena sering kencing, sulit menahan kencing, dan rasa sakit waktu kencing serta bisa juga terjadi hematuria (kencing berdarah).
Gejala-gejala BPH semakin lama akan semakin parah, dan akan menyebabkan laki-laki yang mengalaminya akan mencari pelayanan kesehatan seperti rumahsakit. Jumlah persentase pasien penderita BPH yang datang ke RSUP Fatmawati semakin tahun semakin meningkat. Data dari buku besar lantai IV Selatan Irna B RSUP Fatmawati menunjukkan peningkatan tersebut. Bulan November 2010 jumlah pasien dengan BPH berjumlah 7 orang, Desember berjumlah 10 orang. Pada tahun 2011 ini jumlah penderita BPH yang dirawat di lantai IV Selatan berjumlah 13 orang.
Peningkatan jumlah tersebut diharapkan diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan. Asuhan keperawatan yang diberikan harus komprehensif dan holstik melebihi harapan pelanggan, sesuai dengan visi RSUP Fatmawati. Perawat perlu memahami kembali kalau proses keperawatan merupakan suatu proses pemecahan masalah yang digunakan perawat dalam berinteraksi dengan pasien, keluarga atau orang yang penting bagi klien di dalam memberikan asuhan keperawatan. Konsep tersebut hendaknya diterapkan juga dalam asuhan keperawatan pada klien dengan BPH.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis merasa penting sekali untuk membahas terkait konsep dasar penyakit BPH dan asuhan keperawatannya, sehingga perawat dapat mengaplikasikan metode pemecahan masalah ilmiah dalam praktik keperawatan dan untuk itu perawat membutuhkan kemampuan berpikir kritis terkait penyakit BPH. Kemampuan berpikir kritis perawat dapat diasah melalui proses keperawatan dalam membentuk kerangka kerja yang menopang praktik keperawatan dan dokumentasinya.
B. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang penyakit dan proses keperawatan pada klien dengan Benigna prostate hyperplasia.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusunya adalah:
ü Memahami konsep dasar penyakit BPH
ü Memahami proses keperawatan dan asuhan keperawatan klien dengan BPH, terkait 5 proses keperawatan; pengkajian klien dengan BPH, perumusan dignosa keperawatan pada klien dengan BPH, menyusun rencana keperawatan pada klien dengan BPH, implementasi keperawatan, mengevaluasi intervensi keperawatan pada klien dengan BPH.
ü Mengidentifikasi kesenjangan antara terori dan kasus.
ü Mengidentifikasi faktor pendukung, penghambat dan solusi dalam penyelesaian masalah.
ü Memberikan gambaran pendokumentasian asuhan keperawatan pada klien dengan BPH.
C. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru atau paling tidak mengingatkan kembali tentang konsep dasar penyakit BPH serta asuhan keperawatan pada klien dengan BPH. Dengan demikian, perawat diharapkan semakin menyadari perannya sebagai tenaga kesehatan professional yang perlu meningkatkan ilmu pengetahuan dan kualitas kerja yang efektif dan efesien dengan menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi tentang proses keperawatan klien dengan BPH.
b. Secara Aplikatif
Manfaat aplikatif diturunkan dari manfaat teoritis. Makalah ini diharapkan dapat memberikan contoh asuhan keperawatan yang tepat, efektif dan efesien, bermanfaat untuk mendukung proses pemulihan klien dengan BPH.
D. Ruang Lingkup
Pada makalah ini, penulis membahas tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. MY dengan BPH di ruangan lt. IV selatan, Irna B, RSUP Fatmawati, Jakarta. Pelaksaan tersebut dimulai pada tanggal 21 Maret 2011 sampai 28 Maret 2011.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan gambaran secara jelas melalui studi kasus dan studi kepustakaan tentang konsep dasar penyakit BPH dan proses keperawatan pada klien dengan BPH. Gambaran tersebut timbul dari analisa data yang ditemukan. Adapun tekhnik pengumpulan data dalam penulisan makalah ini, antara lain:
a. Studi Kasus
ü Wawancara yaitu interkasi komunikasi langusung antara perawat dengan klien dan keluarga klien untuk mendapatkan data subjektif tentang masalah yang dihadapi oleh klien maupun keluarganya. Wawancara ini lakukan secara sistematis sesuai tujuan wawancara.
ü Pemeriksaan fisik head to toe untuk mendapatkan data objektif tentang kondisi klien.
ü Observasi, pengamatan langsung perawat terhadap kondisi klein.
ü Studi dokumentasi, yaitu membaca status klien seperti dokumentasi dokter, hasil laboratorium dan hal-hal lain yang diperlukan untuk penyususnan asuhan keperawatan.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan membaca dan mepelajari referensi tentang penyakit BPH dan asuhan keperawatannya. Referensi yang dimaksud dapat berupa buku ataupun informasi dari website/internet.
F. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 5 bab, yaitu bab I pendahuluan, bab II, tinjauan pustaka membahas tentang konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pada klien dengan BPH. Bab III, tinjauan kasus untuk memberikan gambaran kasus terkait 5 komponen proses kepewatan; pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi dari proses keperawatan yang diberikan. Bab IV, pembahasan, memberikan penjelasan tentang proses keperawatan yang telah dilakukan dan menemukan kesenjangan antara konsep teoritis dan kasus dilapangan, dan yang terakhir adalah bab V, penutup yang teridiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR BPH
1. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ). Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Penulis menyimpulkan dari kedua pengertian tersebut bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun dan dapat menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 1999). Obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius artinya terjadinya penumbatan yang mengakibatkan hambatan buang air kecil. sehingga melebihi ukuran normal.
2. Anatomi dan Fisiologi Prostate
Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli – buli dan mengitari uretra. Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada diafragma urogenital atau sering disebut otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 4 cm dan tebal kurang lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20-25 gram.
|
|
Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah radang (prostatitis). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinya gangguan aliran urin. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki - laki usia lanjut ( FK UNAIR / RSUD dr. Soetomo:19).
3. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin akibat adanya perubahan kadar hormon yang terjadi karena proses penuaan. Kasus BPH terus meningkat seriring pertambahan usia harapan hidup. Laki-laki diatas usia 50 tahun, berisiko terkena BPH 50%, 75% diatas usia 75 tahun dan 80% pria yang berusia 80 tahun. Penyakit BPH tidak bisa dicegah, hanya bisa dideteksi dan dilakukan pengobatan --- takdir seorang laki-laki.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :
1). Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3). Interaksi sel stroma - epitel prostat
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4). Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5). Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
4. Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, gejala iritatif, terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (Incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang (Birowo dan Raharjo, Pembesaran prostate jinak, diunduh tanggal 5 Januari 2010).
Selain gejala diatas, gejala umum mungkin juga tampak termasuk keletihan, anoreksia (tidak nafsu makan), mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada perut. Gejala dan tanda pada klien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan cepat, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta penurunan rangsang sarag. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di Costo Vertebrae Angularis (CVA) – Bagian pinggang belakang bawah. Buli-buli yang menegang akibat penumpukan air kencing juga dapat dideteksi dengan palpasi dan perkusi.
5. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli (leher kandung kemih) dan daerah prostat meningkat, terjadi penumpukan urin dalam kandung kemih. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai akibatnya, maka otot destusor berkontraksi lebih kuat untuk memompa urin keluar, sehingga menyebabkan perubahan anatomis buli-buli berupa hipertrofi otot destusor, timbul sakulasi atau divertikel (berupa kantong-kantong).
Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin (penumpukan air kencing dalam kandung kemih) yang selanjutnya dapat menyebabkan komplikasi hidroureter, hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (gagal ginjal). Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat statis urin, dimana sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan dapat menjadi media untuk organisme infektif.
|
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
1. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan. Apabila PSA < dari 4 ng/ml tak perlu biopsy. Sedangkan untuk PSA 4-10 ng/ml perlu diperiksa Prostate Spesific Antigen Density (PSAD) dimana kadar PSA serum dibagi volume prostate. Bila hasil PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostate, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a). BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b). USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c). IVP (Pyelografi Intravena): Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
d). Pemeriksaan Panendoskop: Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
7. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1. Watchful (Observasi)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit.
3. Pembedahan
Tindakan operasi ditujukan pada prostat yang telah menimbulkan penyulit tertentu seperti retensi urine (tidak bisa kencing sama sekali), batu saluran kemih, hematuria (terdapat darah pada air kencing), infeksi saluran kemih serta tidak menunjukkan adanya perbaikan setelah diterapi dengan obat-obatan.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a). Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Massa jaringan prostate hipertropi diangkat melalui insisi abdomen bawah tanpa pembukaan KK.
Ø Keuntungan:
Menghindari insisi dalam kandung kemih
Memungkinkan dokter bedah untuk melihat dan mengontrol perdarahan
Periode pemulihan lebih lingkat
Kerusakan sfingter KK lebih sedikit
Ø Kerugian:
Tidak dapat mengobati penyakti KK yang berkaitan
Insiden hemoragi akibat fleksus venosa prostate meningkat.
Ø Implikasi keperawatan:
Pantau hemoragi dan antisipasi kebocoran pascaurinari selama beberapa hari setelah melepas kateter.
b). Perianal Prostatectomy
Massa prostate besar dibawah area pelvis diangkat melalui insisi diantara skrotum dan rectum. Prosesur radikal ini dilakukan untuk kanker dan dapat mengakibatkan impotensi.
Ø Keuntungan:
o Memberikan pendekatan anatomis langsung
o Memungkinkan drainase langsung oleh bantuan gravitasi
o Terutama efektif untuk terapi kanker radikal
o Memungkinkan hemostatik dibawah penglihatan langsung.
o Angka mortalitas rendah
o Insiden syok lebih rendah
o Ideal untuk klien dengan prostate besar, pasien yang sangat tua dan ringkih
Ø Kerugian:
o Isiden impotensi dan inkontinensia urin pascaoperatif tinggi
o Kemungkinan kerusakan pada rekctum dan sfingkter eksternal
o Bidang operatif terbatas dan potensial terhadap infeksi lebih besar.
Ø Implikasi keperawatan:
o Hindari menggunakan selang rektal/thermometer dan enema setelah bedah perineal.
o Gunakan bantalan drainase untuk menyerap drainase urin yang berlebihan
o Berikan cincin karet busa untuk kenyamanan pasien ketika duduk.
o Antisipasi kebocoran urin disekitar luka selama beberapa hari setelah kateter dilepas.
c). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
Metode mengakat kelenjar melalui insisi abdomen, diindikasikan untuk massa lebih dari 60 gr. Penghambat jaringan prostate diangkat melalui insisi garis tengah bawah dibuat melalui kandung kemih. Pendekatan ini lebih ditujukan apabila ada batu dalam KK.
Ø Implikasi keperawatan: pantau indikasi hemoragi dan syok. Lakukan perawatan aseptic dengan cermat pada area sekitar suprapubis.
d). TUIP (Trans-Urethral Incision Of The Prostate)
Prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukkan instrument melalui uretra. TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki prostat relatif kecil (30 gram/kurang). Prosedur ini dapat dilakukan dari klinik rawat jalan dan mempunyai komplikasi yang lebih rendah dibanding bedah prostate lainnya. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadi perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang.
e. Prostatektomi terbuka.
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik) atau di daerah perineum (dasar panggul yang meliputi daerah skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarangn digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencapai 50%. Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia urin (kurang dari 1%).
f. TURP (Trans Uretral Resection Prostate)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Tindakan ini menggunakan cairan pembilas/irigasi supaya daerah yang direseksi tetap terang dan tidak tertutup darah. Jika dibandingkan dengan operasi terbuka, TURP mempunyai beberapa keuntungan, antara lain
- Tidak menimbulkan luka atau bekas sayatan,
- Lama operasi singkat,
- Hospitalisasi dan periode pemulihan lebih singkat.
- Menimbulkan rasa nyeri yang lebih sedikit.
Kerugiannya: ada risiko obstruksi, trauma uretral dan dapat terjadi striktur serta pedarahan lama dapat terjadi. Oleh karena itu perawat perlu memperhatikan implikasi keperawatannya, antara lain memantau hemoragy dan mengamati adanya gejala-gejala striktur uretra (disuria, mengejan, aliran urin lemah).
Paca TURP, respon fisiologis KK:
· Inflamasi: nyeri, pelebaran pembuluh darah, pembengkakan.
· Perdarahan minor selama 24 jam
· Dieresis post obstruktif
· Respon syaraf simpatik
Setelah dilakukan TURP, dipasang traksi kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada saluran kencing bawah. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas. Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas (Doddy, M.S, 2000 : 6 ).
Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi TURP adalah : Perdarahan, pembentukan bekuan, kateter tersumbat, impotensi. Pembedahan TURP tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
Hal-hal yang harus diperhatikan Post Op TURP
Pasca TURP, klien diupayakan banyak minum, agar produksi kencingnya bisa banyak dan lancar, tidak menahan keinginan untuk buang air kecil, menghindari pekerjaan yang berat/ tidak mengangkat beban yang berat, tidak melakukan hubungan seks 6 setelah operasi
Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu, keluarga maupun masyarakat.
a. Dampak bagi Pasien
· Tirah baring selama 24 jam pasca TURP
· Klien yang dilakukan pembiusan tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.
· Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Obstruksi dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
· Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi/ kaki harus tetap diluruskan selama traksi masih diperlukan.
· Klien dapat mengalami cemas karena kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP, jadi keluarga harus bisa mendukung dan memberi rasa nyaman kepada klien.
· Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya.
b. Dampak bagi keluarga
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit apalagi sampai tindakan operasi akan menimbulkan beban keluarga dalam pembiayaan, terutama bila yang sakit adalah kepala keluarga, karena akan mempengaruhi sumber pendapatan keluarga. Dalam keluarga dapat timbul rasa cemas atau faktor psikologis lain serta terjadi perubahan peran baik dalam pengambilan keputusan, mencari nafkah maupun pelindung keluarga.
c. Dampak bagi masyarakat
Masyarakat disekitarnya mungkin merasa kehilangan karena klien mengurangi interaksi sosial dengan masyarakat dimana klien bertempat tinggal karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi kalau klien adalah orang yang berkedudukan atau berpengaruh dalam lingkungannya.
8. Pencegahan
Pembesaran prostat adalah suatu hal yang normal terjadi pada pria berusia diatas 50 tahun. Kejadiannya meningkat sesuai dengan pertambahan usia, jadi proses ini tidak dapat dicegah. Namun beberapa hal yang bermanfat dilakukan untuk memperlambat tejadinya BPH antara lain:
Ø Aktivitas sehari-hari
Immobilisasi (kurang aktivitas) dan udara dingin dapat meningkatkan risiko retensi urin. Jadi menjaga tetap hangat dan latihan (olahraga) akan sangat berguna. Selain itu para pria harus meluangkan waku untuk berkemih saat mulai terasa, meskipun belum ada keinginan untuk BAK.
Ø Faktor Diet
Menghindari alkohol, kopi dan mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia (kencing malam hari). Ada beberapa bukti ilmiah bahwa teh hijau yang mengandung flavonoids, suatu zat kimia yang baik untuk prostat.
Ø Menghindari obat-obatan yang memperburuk gejala
Penderita BPH sebaiknya menghindari obat flu atau obat alergi yang mengandung dekongestan, antihistamin seperti diphenhydramine karena dapat menghambat aliran urin juga.
Ø Latihan KEGEL
Latihan Kegel atau otot dasar panggul, akan membantu mencegah kebocoran urin. Latihan ini akan memperkuat otot dasar panggul yang menyokong kandung kemih dan menutup sfingter (lubang). Saat berkemih, pasien berusaha untuk mengkontraksikan otot sampai alirannya melambat atau terhenti, kemudian lepaskan lagi. Latihan yang baik 5-15 kali kontraksi, masing-masing ditahan sekitar 10 detik, 3-5 kali sehari.
Ø Menjaga kebugaran tubuh:
o Pertahankan berat badan ideal dan berhenti merokok
o Minum air putih minimal delapan gelas sehari
o Mengurangi makan daging dan lemak hewan, karena kandungan lemaknya dapat meningkatkan resiko berbagai penyakit
o Banyak makan sayur-sayuran dan buah-buahan khususnya yang mengandung antioksidan tinggi.
B. Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan merupakan proses pemecahan masalah yang dinamis dengan menggunakan metode ilmiah secara sistematik untuk mengenal masalah klien dan mencarikan alternatif pemecahannya dalam rangka memenuhi kebutuhan klien guna memperbaiki dan meningkatkan derajat kesehatan hingga tahap maksimal. Adapun tahapan dari proses keperawatan meliputi : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nasrul, E, 1995).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995: 18).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
1). Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
2). Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
3). Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
4). Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
5). Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
6). Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
7). Pola – pola fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
b). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.
c). Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
d). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e). Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f). Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
g). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP.
h). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
i). Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograde
j). Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
8). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
a). Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali .
b). Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi
tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
c). Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
d). Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi.
e). Sistem gastrointestinal
Anasthesi menyebabkan klien pusing, mual dan muntah .Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f). Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
g). Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
9). Pemeriksaan penunjang
a). Laboratorik
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD dr. Soetomo, 1997)
b). Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas
(Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b. Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar