We Can Do The Great Thing For God, when We Do A Little Things For Others

When We Love God, We Will Serve People

Jumat, 06 Mei 2011

Presentasi Kasus: Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan BPH... Part V


BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas keterkaitan antara teori dan kasus yang ditemukan pada kasus ”Asuhan keperawatan pada Tn. MY dengan benigna prostat hiperplasia (BPH) di lantai IV selatan IRNA B teratai merah RSUP Fatmawati Jakarta”. Disamping itu, penulis juga akan membahas faktor pendukung, penghambat serta solusi dalam pemecahan masalah pada kasus tersebut. Pembahasan yang dilakukan mengikuti tahapan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan komponen dasar dalam proses keperawatan, sehingga dengan pengkajian yang tepat akan menentukan langkah berikutnya. Pengkajian pre operasi pada Tn. MY dilakukan segera setelah K datang ke ruangan, pada tanggal 21 Maret 2011. Pada tahap pengkajian ini, terdapat kesamaan antara teori dan kasus yang ditemukan pada K. Masalah utama yang dialami Tn. MY dengan BPH ini, persis sama dengan teori. Etiologi utamanya berkaitan dengan peningkatan usia. Usia Tn. MY sendiri saat pengkajian dilakukan adalah 78 tahun, ini artinya kalau dibandingkan dengan konsep teori bahwa Tn. MY memang wajar menderita BPH.
Manifestasi klinik yang timbul pada kasus ini juga sama dengan teori, yaitu gangguan pada saluran kencing. Pada saat pengkajian dilakukan, kateter urin sudah terpasang pada K. Tujuan dari pemasangan kateter ini adalah untuk membantu evakuasi urin yang sudah menumpuk dalam KK akibat obstruksi aliran urin dikarenakan pembesaran prostate.
Masalah pemeriksaan diagnostik pada kasus ini, jika dibandingkan dengan teori kurang sesuai. Teori dan konsep menyebutkan bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendeteksi apakah seseorang terkena BPH atau tidak, seperti dari keluhan klien sendiri, pemeriksaan fisik, rectal  touch untuk mengetahui diketahui  derajat  dari  BPH,  pemeriksaan radiologi, PSA, dll. Pada kasus ini ditemukan pemeriksaan diagnostic yang dilakukan adalah hanya dari keluhan pasien sendiri dan  USG ginjal, buli dan prostate. Dimana hasil dari pemeriksaan tersebut menunjukkan BPH dan hidronefrosis. Hidronefrosis ini merupakan penyakit akibat komplikasi dari BPH, apabila tidak ditangani segera bisa menimbulkan masalah kesehtan yang lebih parah. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwapemeriksaan diagnostic lain perlu dilakukan untuk lebih memastikan kondisi klien secara lebih menyeluruh. Penulis tidak mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostic yang sudah dilakukan tidak benar, tetapi untuk memastikan lagi dalam penegakan diagnostic, maka tidak salah dilakukan pemeriksaan lainnya dengan tetap memperhatikan dari segi ekonomis atau kemampuan dari pasien sendiri.
Penatalaksanaan medis pada kasus ini yaitu dengan TURP. Sementara dari hasil USG prostate sendiri didapatkan bahwa perkiraan berat prostate ± 31,8 gr. Penulis menemukan bahwa dari teori dijelaskan bahwa dengan berat prostate ± 30 gram, maka penatalaksaan BPH adalah dengan TUIP (Trans Uretral Incisi Prostate).  Komplikasi yang ditimbulkan TUIP sendiri lebih rendah dibandingka dengan prosedur bedah prostate lainnya. Penulis berasumsi bahwa mungkin alat dan kemampuan dari SDM yang tersedia di RSF lebih lengkap dan professional jika melakukan TURP untuk menangani kasus-kasus klien dengan BPH.
Faktor pedukung yang ditemukan saat melakukan pengkajian adalah sikap kooperatif dari klien dan keluarga klien sendiri, sehingga memudahkan perawat melakukan pengkajian. Selain itu, format pengkajian dari RSF juga sangat membantu proses ini dapat berjalan dengan lebih mudah.
Faktor penghambat yang ditemukan penulis saat melakukan pengkajian adalah tingkat pengetahuan penulis yang masih sangat terbatas dan kondisi ruangan yang ramai oleh orang-orang yang membesuk klien. Oleh karena itu solusi yang bisa dilakukan penulis adalah belajar lebih banyak lagi terkai konsep dasar asuhan keperawatan pada BPH dan melakukan pengkajian saat Susana lingkungan nyaman (tidak mengkaji pada saat jam besuk)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis perawat tentang respon klien terhadap masalah kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia yang mendasari intervensi keperawatan. Diagnosa keperawatan yang ditemukan penulis dari hasil analisa data sesuai dengan konsep dan terori asuhan keperawatan klien dengan BPH. Namun diruangan tidak semua diagnosa keperawatan yang penulis temukan dapat didokumtasikan secara komputerisasi. Padahal menurut penulis sendiri diagnose keperawatan tersebut merupakan diagnose yang mutlak diangkat pada kasus-kasus dengan BPH khusunya post TURP, seperti risiko perdarahan b.d reseksi bladder dan risiko obstruksi aliran urin b.d penimbunan klotting darah dalam kandung kemih.
Faktor pendukung yang ditemukan penulis dalam penegakan diagnosa keperawatan ini adalah penulis dapat berdiskusi dengan perawat lainnya dan system komputerisasi yang memfasilitasi dalam penegakan diagnosa.
Faktor penghambat yaitu masih ada diagnosa keperawatan yang belum terdapat dalam pendokumentasian komputerisasi asuhan keperawatan. Solusinya adalah dengan memperbaharui system komputerisasi asuhan keperawatan menjadi lebih baik lagi.

C. PERENCANAAN
Perencanaan intervensi keperawatan diturunkan dari diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan. Pada kasus ini konsep tersebut juga diterapkan; intervensi disesuaikan dengan diagnosa. Hal ini sesuai dengan teori. Tetapi karena ada beberapa diagnose yang tidak didokumentasikan secara komputerisasi maka intervensi dari diagnose yang berhubungan juga mengalami hal yang sama yaitu tidak ada dalam system komputerisasi asuhan keperawatan.
Faktor pendukung yang ditemukan penulis yaitu dalam diagnosa keperawatan yang sudah terkomputerisasi, maka intervensinya juga sebaliknya, begitu juga sebaliknya (faktor penghambat).
Solusi yang boleh dilakukan adalah memperbanyak diagnosa keperawatan dan intervensinya yang dimasukan dalam system komputerisasi. Selain itu, perawat juga dapat melakukan dokumentasi tersbut dengan tulisan tangan dalam catatan perkembangan klien.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan dari perencanaan yang telah disusun. Penulis berusaha sebaik mungkin untuk meimplementasikan rencana yang telah dibuat. Tentunya dalam tahap implementasi ini dibutuhkan kerja sama dan sikap profesionalitas perawat. Selain itu perawat juga harus memperhatikan respon dan keunikan setiap orang. Dengan sikap yang sama, bisa menghasilkan akibat yang beragam pada orang yang berbeda. Perawat harus bisa menghargai keunikan setiap klien
Faktor pendukung; respond dan sikap kooperatif dari klien dan keluarga klien serta bantuan dari perawat ruangan lainnya.
Faktor penghambat yang ditemukan penulis saat melakukan implementasi adalah berbagai macam distraksi yang bisa mengganggu kontak perawat dengan klien saat melakukan intervensi, misalnya keluhan dari pasien-pasien lainnya, telfon ruangan yang berdering, perawat lainnya minta bantuan. Selain itu keterbatasan sarana dan prasarana, misalnya terbatasnya media saat memberikan pendidikan kesehatan kepada klien atau keluarga klien.
Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen pribadi perawat dan manajemen ruangan terkait pelaksanaan asuhan keperawatan. MPKP (Model Praktek Keperawatan Professional) adalah cara yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. Selain itu, pembuatan media pendidikan kesehatan juga merupakan langkah yang baik.

E. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap yang berkesinambungan dalam proses keperawatan. Evaluasi ini dilakukan mulai dari saat melakukan pengkajian sampai pada tahap evaluasi respon klien atas intervensi yang sudah dilakukan. Evaluasi ini didasarkan pada tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai dari setiap masalah yang ditemukan.
Pada kasus Tn. MY ini, semua diagnosa keperawatan dapat diselesaikan dengan baik. Masalah yang actual dalam diagnosa keperawatan dapat dikurangi dan dihilangkan dan  masalah yang masih berisiko, sampai akhir tidak terjadi. Dalam makalah ini memang evaluasi diagnosa keperawatan tidak terdokumentasi secara lengkap sampai klien pulang. Hal ini dikarenakan pada hari dimana klien pulang, penulis sedang tidak lagi dinas. Tetapi pada hari saat sebelum klien pulang, semua diagnosa keperawatan dapat terselesaikan dengan baik.
Faktor pendukung: kerja sama tim yang cukup baik dan respon klien yang kooperatif. Penulis tidak menemukan faktor penghambat yang berarti dalam tahap evaluasi ini


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gambaran penyakti BPH yang dialami Tn. MY, pada kasus ini hampir semuanya sesuai dengan konsep dan teori. Tn. MY berusia 78 tahun, orang yang berada pada kondisi rentan terkena BPH. Tanda dan gejala yang klien alami selama sebelum operasi secara lambat laun menimbulkan gangguan urinasi yang semakin lama semakin menunjukkan gejala obstruktif dan iritatif. Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada kasus Tn. MY ini dari pemeriksaan radiologi yaitu USG ginjal, buli-buli dan prostat yang menunnjukkan hasil BPH dan hidronefrosis.Tindakan segera untuk megatasi  BPH pada kasus ini merupakan hal yang sangat baik, karena ditangai segera sebelum menimbulkan tanda dan gejala masalah kesehantan lainnya, sebagai akibat dari komplikasi BPH itu sendiri.
Pasca TURP, klien menunjukkan respon yang sangat baik. Walaupun usia sudah lanjut tetapi tanda perdarahan dan obstruksi yang tidak jarang terjadi pada kasus-kasus BPH pasca TURP tidak dialami oleh Tn. MY ini. Tn. MY memiliki nilai hematologi khususnya HB yang bagus post TURP, sehingga hal ini menimbulkan respon yang baik pula terhadap kondisi klien sendiri.
Pengkajian pre operasi pada kasus Tn. MY  dilakukan pada tanggal 21 Maret 2011, segera setelah klien tiba di ruangan, tetapi pengkajian post operasi tidak terdokumentasi dengan baik di status klien. Padahal ini merupakan langkah awal dalam melakukan proses keperawatan berikutnya. Hal ini disebabkan karena kondisi ruangan yang sibuk, manajemen individu/tim dari perawat sendiri serta kesadaran dari perawat sendiri yang kurang komprehensif khusunya pada pasien-pasien yang baru dioperasi.
Diagnosa keperawatan diselesaikan berdasarkan prioritas. Prioritas diagnose keperawatan disususn menurut Teori Kebutuhan Maslow dan  masalah yang paling mengancam kehidupan, keselamatan, yang teridentifikasi klien dan dengan mempertimbangkan pasien secara utuh, ketersediaan waktu dan sumber-sumber yang tersedia. Berdasarkan pertimbangan tersebut perawat mengangkat diagnose prioritas adalah masalah gangguan rasa nyaman: nyeri.
Rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan dilakukan secara bertahap dan berjalan dengan baik. Adanya koordinasi dan komunikai yang baik antara perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lain dan antara perawat dengan klien, maka proses pada tahap ini berjalan dengan baik. Semua diagnose keperawatan terselesaikan dan klien dapat keluar dari rumah sakit dengan waktu yang relative singkat dan dalam kondisi yang sehat tanpa timbul komplikasi dan efek pembedahan yang berarti pada klien.

B. Saran
Saran merupakan solusi yang baik untuk membawa suatu system kearah yang lebih baik. Pada akhir makalah ini penulis memberikan saran pribadi dengan harapan dapat mempetahankan dan memperbaiki lagi kualitas asuhan keperawatan secara umum dan asuhan keperawatan secara khusus pada klien dengan kasus BPH, yaitu:
1. Penulis
         Belajar lebih banyak lagi dan mengaplikasikan ilmu yang didapat kelapangan.
         Memperbaiki manajemen waktu dan manajemen diri sebagai perawat professional
         Menambah referensi terkait asuhan keperawatan pada kasus-kasus yang sering dihadapi dalam ruangan.
         Membina komunikasi dan kerja sama yang lebih baik dalam tim keperawatan maupun dengan tim kesehtan lainnya.

2. Kepala ruangan, Wakil kepala ruangan dan Perawat Ruangan
         Lebih meningkatkan kerja sama yang baik antara perawat dengan tim kesehatan lainnya dalam meberikan asuhan keperawatan yang lebih sistematis, holistic dan komprehensif.
         Meningkatkan ilmu pengetahuan, informasi dan mempraktikkan ilmu yang ada dalam lapangan, khususnya melakukan pengkajian ulang pada pasien-pasien yang baru  operasi.
         Menyediakan dan memberdayakan sarana yang ada untuk memberikan pendidikan kesehatan

3. Bidang Keperawatan RSUP Fatmawati
         Memfasilitasi perbaikan-perbaikan asuhan keperawatan sehingga lebih baik lagi, khususnya terkati pengkajian dan dokumentasi komputerisasi asuhan keperawatan.

 DAFTAR  PUSTAKA
Deputi I Menkokesra. Lansia masa kini dan mendatang. Diunduh dari http://www.menkokesra.go.id/content/view
Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  asuhan  keperawatan :  pedoman  untuk  perencanaan  dan  pendokumentasian  perawatan  pasien. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.
Effendi, N., 1995.  Pengantar  proses  keperawatan. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.   
Hardjowidjoto S. (1999). Benigna prostat hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Ignatavicus, D.D  and  Marilyn, F.B.,  1991. Medical surgical nursing : A nursing  procces  approach. International  Edition. Philadelpia, W.B  Saunders  Company. 
Kirby, R,  John F.P,  Michael, K,  Andrew, F.P  and  Louis, J.D., 1994. Shared care  for  prostatic  disease. Oxford,  ISIS  Medical  Media.
Lab / UPF  Ilmu  Bedah, 1994.  Pedoman  diagnosis  dan  terapi. Surabaya, Fakultas  Kedokteran  Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Lismidar, H., 1989.  Proses  keperawatan. Jakarta,  Universitas  Indonesia.
Long, B.C., 1996.  Perawatan  medikal  bedah : suatu  pendekatan  proses  keperawatan. Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.
Ndraha  Taliziduhu, Dr., 1985.  Research :  Teori, Metodologi,  Administrasi. Jakarta, PT.  Bina  Aksara.  Anggota  IKAPI.
Soebandi, D.M., 2001. Benign  Prostate  Hyperplasia : Permasalahan,  Perawatan  Dan Pembedahan. Seminar Keperawatan. Surabaya, SMF  Urologi  Lab.  Ilmu  Bedah  RSUD. dr. Soetomo.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Tim  Keperawatan  RSUD.  dr.  Soetomo, 1997. Standar  Asuhan  Keperawatan Penyakit  Bedah. Surabaya, Bidang  Perawatan  RSUD.  Dr.  Soetomo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar